Back to top

Permasalahan dalam Pemulihan adiksi Narkoba

Senin, 13 Mei 2019 ,

MENEMUKAN BENANG KUSUT di BALIK ADIKSI

Oleh: dr. Linda Octarina M.Si

“Adiksi” (addiction) adalah istilah yang merujuk kepada sikap atau perilaku yang dilakukan terus-menerus karena adanya efek positif menurut subjek. Kita sering mendengar istilah “adiksi” terutama jika berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika. Dari segi medis adiksi termasuk penyakit otak yang kronis.  Karena bersifat kronis, maka relapse pada seorang pecandu narkotika adalah hal yang bisa terjadi dan merupakan bagian dari perjalanan penyakit. Jika melihat definisi adiksi tersebut, maka setiap pecandu narkotika memerlukan waktu pengobatan dan  perawatan yang lama agar pulih. Hal ini karena lama waktu pemulihan tergantung jenis zat yang dipakai, lama penggunaan, dan tingkat masalah yang dialaminya. Penelitian menunjukkan bahwa pecandu narkotika memerlukan waktu minimal tiga bulan untuk menjalani rehabilitasi agar pulih dari ketergantungannya dan semakin lama pecandu mengikuti rehabilitasi akan memberikan hasil yang lebih baik (National Institute on Drug Abuse, 2012: edisi ketiga).

Sesuai dengan Undang-Undang Narkotika no. 35 tahun 2009, setiap korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang dimaksudkan adalah rehabilitasi secara medis atau sosial. Dalam pelaksanaannya rehabilitasi dapat dilakukan melalui rawat jalan dan rawat inap. Permasalahan yang sering terjadi adalah relapsenya pecandu narkotika yang sudah selesai menjalani rehabilitasi rawat inap atau pecandu narkotika yang sudah berkali-kali masuk rehabilitasi, tetapi selalu relapse  saat dia kembali ke lingkungan asalnya. Dua masalah di atas merupakan masalah dalam pemulihan ketergantungan narkotika.

Ada beberapa alasan seseorang mulai menggunakan narkotika, yaitu ingin merasa bahagia (to feel good), ingin merasa lebih baik (to feel better), agar dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik (to do better), rasa ingin tahu dan orang lain juga menggunakannya (curiosty and ‘because others doing it’), dan tekanan rekan sebaya (peer pressure). Jika melihat empat alasan di atas selain curiosty and ‘because others doing it’, sebenarnya ada alasan lain berupa sesuatu hal atu peristiwa yang sudah terjadi dan memberikan dampak negatif yang besar sehingga penyalahguna tersebut mencari hal baru yang dapat membantunya untuk menghadapi dampak negatif tersebut atau mencari pelariannya dari kondisi yang sedang dihadapinya. Contoh sesuatu hal atau peristiwa di atas adalah perceraian kedua orang tua, perceraian dengan pasangan, perselingkuhan, sikap bapak yang otoriter, dan hal lainnya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka sangatlah benar bahwa penanganan seorang addict memerlukan penanganan secara komprehensif. Pemulihan dapat tercapai apabila permasalahan mendasar tersebut terselesaikan karena pindah tempat tinggal atau menjauh dari lingkungan asal tidak menjamin seorang addict lepas dari penggunaan narkotika. Saat ini, perjalanan penyebaran narkotika sudah mencapai hampir seluruh daerah di Indonesia.

Rehabilitasi merupakan salah satu proses pemulihan pecandu narkotika tetapi rehabilitasi tidak menjamin pecandu dapat benar-benar pulih dari penyalahgunaan narkotika. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena pecandu tersebut tidak selamanya tinggal di lingkungan yang abstinen dari narkotika. Hal ini berarti keberhasilan pemulihan yang diberikan selama rehabilitasi diukur apabila pecandu tersebut tidak relapse lagi. Di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido, berbagai metode terapi diberikan kepada pecandu selama menjalani rehabilitasi, seperti pengobatan secara medis, konseling individual, Cognitive Behavior Therapy (CBT), Motivational Interviewing (MI), konseling keluarga dan pemangkasan perilaku negatif menjadi positif menggunakan perangkat-perangkat pemangkasan yang ada dalam ‘komunitas terapetik dimodifikasi’.

Selama menjalani rehabilitasi, pecandu dapat mengalami perubahan fase perilaku. Contoh kasus yaitu pada awal masuk rehabilitasi, seorang pecandu berada pada fase persiapan. Lalu dia menjalani program, berarti dia masuk ke tahap aksi. Saat di rehabilitasi, pecandu tersebut merasa bahwa keluarganya tidak memperdulikan karena keluarga tidak pernah menjenguknya atau menelponnya. Hal ini dapat membuat dia mengalami perubahan perilaku, yaitu dari fase aksi ke fase kontemplasi. Permasalahan yang dialami oleh pecandu tersebut akan membuat dia jenuh dan tidak mengikuti program dengan baik. jika permasalahan ini tidak diketahui dan tidak diselesaikan oleh konselornya, maka kemungkinan pecandu itu untuk relapse lagi saat selesai rehabilitasi dapat terjadi.

Jika kita mencari sumber permasalahan dari masalah yang tampak pada pecandu saat di rehabilitasi, bisa jadi akar permasalahan tersebut adalah konflik lama yang belum terselesaikan dalam keluarga. Contoh kasus: awalnya, terjadi konflik dalam keluarga yang menyebabkan perubahan kondisi dan hubungan antar anggota keluarga menjadi kondisi yang kurang nyaman dan tidak menyenangkan. Lalu seiring berjalannya waktu, kondisi yang kurang nyaman itu menjadi hal yang biasa bagi sebagian anggota keluarga. Tetapi ada anggota keluarga yang tetap tidak dapat menerima perubahan kondisi tersebut, sehingga dia mencari hal-hal yang dapat mengalihkan perhatiannya, seperti menggunakan narkotika. Akhirnya, stigma pecandu pun diberikan oleh keluarga kepada dia sehingga timbul permasalahan baru dalam keluarga. Semakin bertumpuk permasalahan yang terjadi. Pada saat itu, keluarga akan berusaha mencari pengobatan untuk anggota keluarga yang menyalahgunakan narkotika tersebut. Saat keluarga memasukkan dia ke rehabilitasi, mereka mengharapkan bahwa setelah selesai rehabilitasi, anggota keluarga tersebut sudah sehat dan pulih. Tetapi ternyata harapan itu tidak tejadi. Anggota keluarga tersebut menggunakan narkotika lagi setelah beberapa minggu keluar dari rehabilitasi. Kejadian ini adalah salah satu gambaran yang nyata dan terjadi di sejumlah keluarga.

Kekambuhan yang terjadi pada mantan addict yang sudah selesai mengikuti rehabilitasi, sering merujuk pada dua hal, yaitu pertama, kekambuhan adalah bagian dari penyakit addiction karena addiction bersifat kronik. Kedua, kekambuhan terjadi karena kurang cocoknya jenis pengobatan atau rehabilitasi yang pernah diterimanya. Kedua hal tersebut bisa juga dianggap benar, tetapi ada hal yang sering kita lupakan yaitu seseorang menggunakan narkotika pasti ada sebabnya dan ada faktor-faktor pencetusnya. Apabila penyebab dan faktor pencetus tersebut tidak duraikan dan dicari alternatif penyelesaiannya, maka kemungkinan mantan pecandu untuk relapse lagi merupakan hal yang wajar. Hidup ini tidak lepas dari masalah. Masalah baru dapat timbul kapan saja. jika masalah lama tidak selesai, maka masalah baru ini akan menyebabkan hal yang lebih berat.

Salah satu cara untuk mencari dan mengurai konflik yang sudah lama terjadi ataupun yang baru terjadi di dalam keluarga adalah dengan mengikuti sesi ‘family therapy’. Familiy therapy adalah suatu proses yang menggunakan bermacam teknik psikoterapi dengan tujuan untuk memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga, mengurai permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi dalam keluarga dan untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Mengutip pernyataan Virginia Satir, bahwa family therapy perlu dilakukan untuk mengatasi rasa sakit keluarga dan menyembuhkan luka keluarga. Menurut Lee (2010), tujuan family therapy adalah untuk bekerja bersama menyembuhkan masalah mental, emosional atau psikologis yang mencabik-cabik keluarga. Family therapy ini akan dipandu oleh therapis yang sudah memiliki sertifikasi. Pada saat sesi family therapy ini, therapis akan menempatkan dirinya seolah berada dalam keluarga tersebut, tetapi therapis tetap harus berhati-hati. Frekuensi sesi terapi tergantung pada bentuk dan budaya yang berlaku dalam keluarga serta karakteristik masalah.

Menurut penulis, family therapy adalah suatu proses konseling yang dilakukan kepada setiap individu yang ada dalam keluarga pada waktu yang sama dengan menggunakan suatu teknik yang bersifat ‘art’ agar dapat mengurai permasalahan, memperbaiki komunikasi dan hubungan antara anggota keluarga, menumbuhkan rasa cinta dan kepercayaan antara anggota keluarga, serta memperbaiki fungsi keluarga. Menurut penulis, ada tiga hal yang sangat berperan dalam keberhasilan family therapy adalah keterampilan terapis dalam melakukan seni komunikasi baik secara verbal ataupun non verbal, kesungguhan hati terapis untuk membantu dan keobjektifan terapis dalam menilai pattern keluarga dan masalah. Kesimpulannya adalah konflik awal dalam keluarga yang menjadi pencetus terjadinya addiction pada anggota keluarga dapat terurai dan terpecahkan solusinya melalui family therapy.


Artikel Lain